Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Dinilai Dilematis, Anggota DPR RI Soroti Implikasi Konstitusional
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, memandang bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu lokal dan nasional tidak serta-merta dapat diimplementasikan atau dimasukkan ke dalam undang-undang.
Menurut Khozin, putusan MK ini menghadirkan dilema dalam penerapannya. Di satu sisi, keputusan MK bersifat final dan mengikat sehingga wajib dilaksanakan. Namun di sisi lain, pelaksanaan putusan tersebut berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Hal inilah yang menjadi bahan catatan dan kajian di DPR RI, bahwa putusan MK ini tidak bisa langsung diterapkan karena menimbulkan implikasi konstitusional,” ujar Khozin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7).
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini merujuk pada Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilu presiden, DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Implementasi putusan MK yang memisahkan pemilu berpotensi melanggar konstitusi karena menyebabkan pemilu DPRD tidak lagi dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sebagaimana amanat UUD, akibat adanya jeda 2 hingga 2,5 tahun sesuai keputusan MK.
Khozin menyebut ada dua alternatif yang bisa diambil untuk melaksanakan putusan MK tersebut. Pertama, dengan melakukan amendemen terbatas terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 22E. Kedua, DPR dapat memasukkan putusan MK ke dalam revisi Undang-Undang Pemilu, tetapi dengan disertai tafsir yang sesuai sudut pandang DPR.
“DPR tetap melaksanakan putusan MK, namun dengan keyakinan dan tafsirnya sendiri. Ini bisa jadi memicu judicial review baru sehingga perdebatan tidak akan berakhir,” tambahnya.
Lebih jauh, Khozin menyoroti ketiadaan preseden mengenai penjabat sementara bagi anggota DPRD setelah masa jabatan mereka berakhir pada 2029 akibat pemisahan pemilu. Hal ini berbeda dengan posisi penjabat kepala daerah yang sudah pernah diterapkan dalam pelaksanaan pemilu 2024. Menurutnya, ketentuan Pasal 22E ayat 1 dan 2, serta Pasal 18 ayat 3, secara tegas menyatakan bahwa DPRD dipilih melalui pemilu setiap lima tahun.
Khozin menilai putusan MK ini menjadi bahan evaluasi bagi DPR. Ia menyebutkan bahwa DPR dan pemerintah telah menggelar pertemuan untuk membahas isu tersebut pada Senin (30/6) lalu.
Selain itu, Khozin menyampaikan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga berencana mengadakan pertemuan internal guna mendiskusikan putusan MK ini. Namun, ia belum bisa memastikan apakah pertemuan tersebut akan sekaligus membahas kemungkinan dilakukannya amendemen terbatas terhadap UUD 1945.
“Informasinya, pekan depan akan ada diskusi antara pimpinan MPR dan partai-partai untuk menindaklanjuti hal ini,” pungkasnya.