Sekali Jenderal Tetap Jenderal : Manuver Diplomasi Kilat Ala Presiden Prabowo

Aktivis Muda Lampung Naufal Alman Widodo. Dok: Ist

Dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, Presiden Republik Indonesia yakni Prabowo Subianto telah menjajaki lima negara yang memiliki kekuatan khususnya dalam bidang ekonomi dunia, yakni : Arab Saudi, Uni Emirat Arab, China, Jepang, dan Amerika Serikat. Rangkaian kunjungan ini diklaim sebagai diplomasi strategis untuk mengamankan kepentingan nasional. Dalam perspektif lain kita harus tau bahwa diplomasi ini untuk siapa? Apakah diplomasi ini sudah seharusnya di lakukan atau ini hanya bentuk romantisme semata.

Diplomasi sejatinya adalah alat perjuangan politik luar negeri demi kebaikan dalam negeri. Kilatnya proses yang di lakukan oleh Presiden Prabowo bisa saja diartikan hanga sebagai diplomasi romantisms yakni sekedar menjadi parade selfie di karpet merah, jet pribadi, dan perjamuan istana, kita patut curiga. Di mana transparansi dari “kesepakatan besar” yang digembar-gemborkan? Apakah rakyat benar-benar mengetahui isi dari setiap MoU yang ditandatangani?

Dalam hal kehidupan bernegara, kita tidak boleh anti terhadap kerja sama internasional, tapi diplomasi yang tidak transparan hanya akan menjadi panggung pencitraan elit dan bukan menjadi strategi perjuangan bangsa. Jika semua hasil hanya tampil di media sosial tanpa rincian implementasi, maka rakyat sedang dibungkam dengan ilusi kemajuan.

Melintasi lima negara besar dalam waktu 14 hari memang terlihat sigap, tapi benarkah kerja sama yang “strategis” itu benar-benar matang dan menyeluruh? Atau hanya seremonial belaka, sekadar “checklist” kunjungan sebelum pelantikan?
Rakyat berhak tahu apakah ini diplomasi jangka panjang atau hanya diplomasi simbolik, yang dibangun lebih demi legitimasi politik daripada kepentingan riil rakyat.

Diplomasi ini diklaim akan membawa investasi, kerja sama pertahanan, dan perluasan kemitraan energi. Tapi apakah agenda-agenda itu benar-benar berpihak pada buruh, petani, nelayan, dan UMKM? Atau justru memperkuat cengkeraman oligarki, pengusaha tambang, dan korporasi asing?

Jika investasi hanya akan masuk ke sektor ekstraktif tanpa memperhatikan keadilan ekologis dan kesejahteraan masyarakat adat, maka yang kita hadapi adalah diplomasi kapital, bukan diplomasi rakyat.

MoU yang ditandatangani di balik pintu tertutup dan tanpa rincian publik adalah bentuk diplomasi yang menihilkan partisipasi rakyat. Kita perlu tahu:

Apa isi sebenarnya dari kerja sama pertahanan dan ekonomi tersebut?
Siapa yang menjadi mitra dan bagaimana proses seleksinya?
Kapan target pencapaian dimulai, dan siapa yang mengawasinya?
Tanpa kejelasan, diplomasi akan terus berjalan di zona abu-abu yang rawan diselewengkan oleh kepentingan segelintir orang.

Langkah Prabowo mengunjungi negara-negara rival global seperti AS dan China memang menunjukkan posisi Indonesia yang strategis. Tapi jangan sampai kunjungan ini hanya sinyal politik untuk memperkuat citra di dalam negeri, pasca 100 hari kerja. Diplomasi luar negeri tak boleh dijadikan lobi pencitraan, tapi harus dirancang sebagai strategi keberlanjutan.

Kita tidak bisa menilai keberhasilan diplomasi hanya dari jumlah negara yang dikunjungi, atau pujian dari pemimpin dunia. Keberhasilan diplomasi harus dilihat dari seberapa besar manfaat nyata yang dirasakan oleh rakyat Indonesia—khususnya mereka yang berada di pinggir pembangunan: buruh tani, pelajar desa, pengangguran kota.

Branding global ala “Twitter diplomacy” tidak cukup menggantikan kerja akar rumput: reformasi birokrasi, pemerataan pendidikan, digitalisasi, dan penguatan kemandirian ekonomi lokal.

 

Oleh: Naufal Alman W.

Aktivis Muda Lampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup