Perikemanusiaan dan Norma Sosial Masyarakat Indonesia: Maraknya LGBTQ+ dalam Tatanan Bermasyarakat

M. Rifqy Moesa Parisi. Dokumentasi: Istimewa

Otentikindonesia.com – Beberapa tahun terakhir, fenomena LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lainnya) semakin terlihat di ruang-ruang publik Indonesia, baik secara nyata maupun melalui dunia maya.

Mulai dari konten media sosial, komunitas daring, hingga infiltrasi simbol LGBTQ+ dalam dunia hiburan dan kampus, isu ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

Maraknya ekspresi LGBTQ+ dianggap telah melampaui batas toleransi sosial dan bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama, budaya, dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.

Mayoritas masyarakat Indonesia memegang teguh norma agama dan budaya timur. Dalam praktiknya, masyarakat tidak akan siap menerima perilaku LGBTQ+ sebagai bagian dari kehidupan sosial yang normal.

Hal ini tercermin dari banyaknya penolakan terhadap penyelenggaraan event bertema LGBTQ+ di ruang publik, penolakan terhadap eksistensi komunitas ini di lingkungan sekolah, kampus, hingga lembaga keagamaan.

Salah satu kasus yang mencuat adalah penolakan masyarakat terhadap acara drag show dan parade Pride yang dinilai tidak sesuai dengan nilai lokal dan malah mengganggu kenyamanan sosial.

Reaksi keras masyarakat menunjukkan bahwa ekspresi LGBTQ+ dianggap sebagai bentuk penyimpangan, bukan sekadar perbedaan identitas pribadi.

Bahkan, beberapa komunitas warga dan organisasi keagamaan secara terbuka menolak keberadaan kelompok ini, karena dianggap dapat merusak tatanan moral generasi muda, serta membuka celah bagi krisis identitas di tengah gempuran budaya luar yang liberal.
Perikemanusiaan dalam konteks Indonesia bukan merupakan kebebasan tanpa batas.

Memang, prinsip perikemanusiaan mengajarkan penghormatan terhadap hak setiap manusia.

Namun, dalam konteks Indonesia, hak individu dibatasi oleh norma agama dan sosial yang berlaku.

Seperti yang tercantum dalam Pasal 28 J UUD 1945, pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pertimbangan moral, nilai agama, dan ketertiban umum.

Penerimaan terhadap LGBTQ+ tidak bisa disamakan antara Indonesia dengan negara-negara Barat.

Indonesia bukan negara sekuler, tetapi negara yang menjadikan nilai-nilai ketuhanan dan moralitas sebagai fondasi bernegara.

Maka, ketika ekspresi LGBTQ+ tampil secara terbuka, apalagi dikampanyekan di ruang publik, masyarakat berhak mempertanyakan kesesuaiannya dengan identitas bangsa.

Dewasa ini masyarakat dihadapi dengan tantangan yang nyata seperti propaganda media sosial dan pengaruh budaya asing yang membuat banyak masyarakat resah dengan meningkatnya konten media sosial yang mempromosikan gaya hidup LGBTQ+ secara terselubung maupun terang-terangan.

Influencer, artis, bahkan tokoh publik mulai mempopulerkan istilah seperti “gender fluid”, “panseksual”, dan “coming out” kepada generasi muda.

Hal ini berdampak besar pada pola pikir remaja, yang tengah dalam fase pencarian jati diri, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi kebebasan seksual.

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika beberapa sekolah dan kampus terindikasi memberi ruang bagi edukasi LGBTQ+ atas nama inklusivitas, tanpa menyaring secara ketat sesuai norma bangsa.

Ada kekhawatiran besar bahwa toleransi yang berlebihan akan berubah menjadi promosi terselubung terhadap penyimpangan seksual, yang pada akhirnya dapat merusak karakter anak bangsa.

Meski hukum positif Indonesia belum secara eksplisit melarang orientasi seksual, banyak kebijakan lokal dan pusat yang menunjukkan pembatasan terhadap ekspresi LGBTQ+.

Misalnya, beberapa daerah menolak perizinan kegiatan LGBTQ+ karena dianggap melanggar norma dan ketertiban umum (JDIH Tanah Laut, 2022).

Bahkan dalam KUHP baru, terdapat pasal yang dapat menjerat perbuatan cabul sesama jenis, terutama jika dilakukan di depan umum atau pada anak-anak.

Kementerian Agama pun secara tegas menyatakan penolakan terhadap LGBTQ+ sebagai gaya hidup, karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama-agama yang diakui di Indonesia (Kemenag, 2023).

Sikap negara ini sejalan dengan kehendak mayoritas rakyat Indonesia, yang tidak ingin melihat generasi mudanya kehilangan arah karena kebebasan yang kebablasan.

Manusia diciptakan dengan fitrah tauhid, yang mengarah pada kesatuan tujuan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Orientasi seksual dalam Islam dan mayoritas agama lain sudah memiliki aturan yang jelas relasi seksual hanya sah dalam ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

LGBTQ+, dalam bentuk hubungan sesama jenis, bertentangan dengan prinsip fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan.

Konsep kemanusiaan tidak bermakna liberalisme individual, melainkan pengembangan potensi diri dalam konteks nilai, moral, dan tanggung jawab sosial.

Maka, ketika individu mengekspresikan orientasi seksual secara bebas tanpa memperhatikan norma sosial, itu bukan ekspresi kemanusiaan, melainkan bentuk disorientasi nilai dan etika.

Dalam menghadapi maraknya LGBTQ+, negara dan masyarakat tidak bisa hanya menolak tanpa solusi.

Perlu langkah komprehensif dan preventif agar fenomena ini tidak semakin merusak tatanan sosial.

Pertama, memperkuat pendidikan agama dan moral di tingkat sekolah, yang membentuk kesadaran sejak dini tentang kodrat manusia, keluarga, dan relasi sosial sehat.

Kedua, mengawasi konten digital dan media, agar tidak mempromosikan gaya hidup yang bertentangan dengan norma bangsa.

Ketiga, memberikan pendampingan psikososial kepada individu yang mengalami disorientasi seksual, dengan pendekatan psikologi, medis, dan spiritual bukan stigma, melainkan rehabilitasi berbasis empati dan nilai agama.

Keempat, menegaskan batasan ekspresi LGBTQ+ di ruang publik, agar tidak menjadi alat propaganda yang mencederai hak mayoritas masyarakat untuk hidup sesuai nilai dan keyakinan mereka.

Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi perikemanusiaan, tetapi perikemanusiaan yang beradab, bukan permisif.

Hak asasi tidak bisa dimaknai sebebas-bebasnya tanpa melihat akar budaya, agama, dan kehendak mayoritas masyarakat.

Dalam konteks maraknya LGBTQ+, negara dan masyarakat harus bersikap tegas namun tetap berperikemanusiaan, agar tatanan sosial bangsa tetap terjaga, moral publik tidak tergerus, dan generasi muda tidak kehilangan arah di tengah arus globalisasi yang tak terbendung.

Penulis: M. Rifqy Moesa Parisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup