Karhutla : Auman Terakhir dari Tanah yang Terbakar

Otentik Indonesia _ Di tengah belukar Indragiri Hilir, hamparan gambut membujur seperti tubuh yang tak lagi utuh. Ia adalah tubuh alam, pernah hidup dan damai, menyimpan jejak ribuan makhluk yang tumbuh tanpa gaduh. Rerumputan yang tersisa masih bergoyang, bukan karena angin, tapi karena hawa panas yang menjalar perlahan dari dalam tanah. Hari itu, mentari tak lagi memberi hangat. Ia menyinari luka.

Lalu, suara itu terdengar. Bukan suara angin. Bukan suara manusia. Tapi auman panjang dari si belang—penguasa rimba yang kini tinggal di tepi batas kepunahan. Ia bukan sedang marah. Ia sedang menjerit. Jeritan itu bukan untuk menakutkan, tapi meminta tolong. Namun manusia terlalu sibuk takut atau terlalu sibuk atas kerakusannya sendiri.

Satu dari sekian banyak luka itu terbuka lebar di Dusun Teluk Bagus, Desa Bayas Jaya, Kecamatan Kempas. Pada Kamis, 24 Juli 2025, lahan gambut di sana terbakar hebat. Lima hektare hutan berubah jadi abu. Asap mengepul, bukan dari langit, tapi dari tanah yang disengaja dibakar. Tumpukan kayu yang katanya untuk “dibersihkan” oleh seorang pria berinisial H alias D, ternyata menjadi awal dari kehancuran.

Si belang melintas di ujung kawasan itu. Ia mencium asap sebelum melihat api. Lidah merah itu menjalar dari tanah yang katanya milik warga, tapi kini menjadi lahan kematian.

Namun, Bayas dan Kempas bukan satu-satunya cerita. Api tak mengenal batas administrasi. Karhutla juga menyambangi tanah-tanah rapuh di Gaung. Ia menjalar ke balik kanal, menyusup ke kebun-kebun sawit yang menekan hutan tersisa. Ia membakar ranting-ranting mati di Mandah, melumat akar kehidupan di Sungai Iliran.

Hari-hari ini, karhutla bukan lagi kejadian. Ia sudah menjadi musim. Musim duka yang datang saban tahun, dan disambut oleh kesibukan memadamkan, bukan mencegah.

Bagi si belang, api bukan satu-satunya ancaman. Bahkan sebelum bara menjilat kulit bumi, ia sudah dikepung oleh ketakutan lain. Pembukaan lahan yang masif, pohon-pohon yang tumbang, dan hutan yang pelan-pelan menghilang. Di tempat yang dulu sunyi dan rindang, kini ada suara mesin. Di tempat rusa biasa lewat, kini ada jejak sepatu dan sisa rokok. Dan kini, bahkan tempat bersembunyinya pun dilahap oleh kesalahan manusia yang berdalih “tidak tahu.”

H alias D mengaku hanya ingin membersihkan lahan. Tapi dari lahan itu, terbukti bahwa yang dibakar bukan cuma ranting dan batang, tapi juga kemungkinan hidup bagi banyak makhluk. Korek api biru, batang kayu hangus, sebilah parang, semua menjadi bukti bahwa api ini bukan tak sengaja. Ia sengaja dibakar, lalu dibiarkan. Lalu menghanguskan.

Polres Inhil bergerak. Tim Tipidter dan Polsek Kempas turun langsung memadamkan api dan menyelidiki. Dan pada 27 Juli, pria itu diamankan di Tembilahan Kota. Ia kini menyandang status tersangka, dijerat dengan pasal-pasal yang seharusnya jadi pelajaran. Tapi apa hukum bisa memulihkan jejak yang sudah jadi abu?

Sementara aparat bekerja memproses hukum, si belang terus berjalan. Ia tak tahu nama-nama manusia yang membakar hutannya. Ia tak mengerti pasal 69 atau 188 KUHP. Yang ia tahu, rumahnya kini jadi bara. Jalannya jadi jebakan. Udara jadi racun.

Di sisi lain, manusia hidup dalam dilema. Ada yang membakar karena terpaksa. Ada yang membakar karena terbiasa. Ada yang membakar karena kuasa. Dan ada pula yang hanya diam, memeluk kekhawatiran, tak tahu harus bagaimana memulai hidup tanpa api.

Mereka tahu api itu salah, tapi terlalu banyak yang menggantungkan hidup pada kebakaran. Lahan dibuka, sawit ditanam, untung dihitung, dan ekosistem dilupakan. Apakah yang duduk di kursi-kursi kekuasaan mendengar jeritan itu? Ataukah telinga mereka dipenuhi sorakan investor dan tepuk tangan politik?

Sementara itu, si belang terus berjalan, menyusuri tanah yang tak lagi ia kenali. Pohon-pohon tumbang, bau hangus menempel di udara, dan langit tampak malu untuk menurunkan hujan. Ia tidak mencari mangsa. Ia mencari jalan keluar. Dari asap. Dari gelap. Dari sepi. Dari ancaman yang tak bisa ia lawan.

Dan kita, Apakah kita akan terus membiarkan si belang menjerit dalam diam?, Apakah kita akan membiarkan burung-burung berhenti bernyanyi?, Apakah kita akan terus berpura-pura tidak tahu bahwa tanah ini sedang mati perlahan?

Karhutla bukan hanya membakar hutan. Ia membakar nurani. Ia membakar harapan. Ia membakar masa depan.

Bila hari ini kita memilih diam, barangkali kelak, auman terakhir dari si belang bukan lagi sekadar suara, tapi peringatan. Bahwa saat alam pergi, manusia akan menyusul tak lama lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup