Wamenaker Noel Join The Trend : Efek Domino Amnesti Hasto, Prabowo Diuji

Naufal Alman Widodo (Alumni FH Unila)

otentikindonesia.com — Presiden Prabowo Subianto kembali diuji konsistensinya. Setelah sebelumnya menuai sorotan karena memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP), kini giliran Wakil Menteri Tenaga Kerja yakni Immanuel Ebenezer, yang meminta perlakuan serupa. Publik pun bertanya: apakah amnesti kini berubah menjadi tameng politik bagi pejabat yang tersandung hukum? Ataukah Prabowo berani menegaskan bahwa keadilan tidak boleh diperdagangkan demi kepentingan kekuasaan?

Pasal 14 UUD 1945 memang memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk memberi amnesti. Namun prerogatif ini bukanlah hak absolut. Presiden wajib memperhatikan pertimbangan DPR. Mekanisme ini dirancang sebagai checks and balances, agar amnesti tidak digunakan untuk melindungi segelintir elit politik dari jerat hukum.

Masalahnya, aturan tentang amnesti di Indonesia masih bertumpu pada Undang-Undang Darurat 1954 yang sudah usang dan tidak lagi relevan. Ketiadaan indikator objektif membuat ruang politisasi semakin lebar. Akibatnya, pemberian amnesti lebih sering dibaca sebagai keputusan politik ketimbang solusi hukum yang adil.

Secara historis, amnesti diberikan dalam konteks politik transisi atau rekonsiliasi nasional. Presiden Soekarno pernah memberi amnesti bagi pemberontak Darul Islam, Presiden Habibie memberi amnesti bagi oposisi politik pasca Presiden Soeharto, dan yang paling monumental adalah amnesti bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca Perjanjian Helsinki 2005.

Dengan adanya pelbagai contoh diatas maka amnesti bukanlah hadiah personal. Ia ditujukan untuk meredakan konflik besar dan membuka ruang rekonsiliasi nasional. Karena itu, permintaan amnesti oleh seorang pejabat aktif seperti Immanuel Ebenezer menimbulkan tanda tanya besar: apa relevansinya dengan kepentingan Nasional?

Kritik publik kian tajam karena Presiden Prabowo pernah memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto yang menjabat sebagai Sekjen PDIP. Saat itu, langkah tersebut dipandang sebagai bagian dari kompromi politik untuk meredakan ketegangan dengan oposisi.
Namun, jika pola serupa diulang dalam kasus Immanuel, publik akan melihat amnesti berubah menjadi instrumen transaksional politik. Dari Hasto hingga Immanuel, narasi yang muncul adalah sama: pejabat diselamatkan, sementara rakyat kecil tetap harus menghadapi hukum tanpa kompromi.

Menerima permintaan Immanuel berarti Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya sebagai tameng kekuasaan. Hal ini mencederai prinsip equality before the law yang ada dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan mempertegas stigma lama bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Lord Acton pernah mengingatkan, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Pemberian amnesti tanpa indikator yang ketat bukan hanya melanggengkan impunitas, tetapi juga merusak legitimasi moral kekuasaan itu sendiri.

Sejarah menunjukkan, amnesti seharusnya menjadi jalan keluar kolektif demi rekonsiliasi bangsa dan bukan sekadar karpet merah bagi pejabat yang terjerat perkara. Jika Presiden Prabowo kembali menuruti permintaan ini, dari Hasto hingga Immanuel, publik hanya akan melihat satu hal: hukum dijadikan barter politik, sementara keadilan rakyat terus dipinggirkan.

Pada akhirnya jika itu yang terjadi, maka warisan yang diturunkan oleh Presiden Prabowo bukanlah negara hukum yang kuat, melainkan negara impunitas yang rapuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup