PBHI & Koalisi Masyarakat Sipil: Tim Reformasi Polri Gimmick, Hentikan Politisasi!
otentikindonesia.com, Lampung – PBHI & Koalisi Masyarakat Sipil kembali menegaskan kritik keras terhadap pembentukan Tim Reformasi Polri yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto. Menurut mereka, langkah tersebut rawan menjadi sekadar gimmick politik dan tidak menyelesaikan persoalan mendasar dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Kata kunci mengenai politisasi Polri muncul karena publik melihat belum ada upaya serius menegakkan mandat konstitusi secara menyeluruh.
Reformasi kepolisian bukan hanya persoalan wacana politik, melainkan sebuah kewajiban hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 UUD 1945 dan Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 yang sudah berusia lebih dari dua dekade. Sayangnya, upaya pemerintah kerap berhenti pada tim sementara yang hanya bersifat responsif. Pola semacam itu berisiko mengulang kegagalan era sebelumnya.
Masyarakat sipil menilai, solusi sejati terletak pada perubahan regulasi. Evaluasi terhadap Polri harus dilakukan melalui revisi undang-undang, pembaruan KUHAP, hingga perbaikan regulasi sektoral. Tanpa langkah itu, Polri hanya akan sibuk dalam simbolisme dan jauh dari transformasi kelembagaan.
⸻
Pengalaman di era Presiden Jokowi memberikan pelajaran penting. Beberapa tim bentukan pemerintah kala itu hanya menjawab isu-isu kasuistis, mulai dari tragedi Kanjuruhan hingga penanganan demonstrasi mahasiswa pada 28 Agustus. Meski menghasilkan rekomendasi, implementasi nyaris tidak berdampak pada perubahan kultur dan struktur institusi kepolisian. Kondisi tersebut menambah pesimisme publik terhadap model reformasi berbasis tim ad hoc.
Ketua PBHI Wilayah Lampung, Nandha Risky Putra, mengungkapkan situasi di daerahnya masih penuh masalah. Kasus undue delay laporan masyarakat, dugaan pungli dalam pengurusan SIM maupun SKCK, serta praktik represif aparat terhadap aksi mahasiswa dan buruh menjadi aduan rutin. Menurut Nandha, fenomena inilah yang melahirkan narasi #percumalaporpolisi. Kritik tersebut menggambarkan betapa rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Persoalan lain juga muncul dari sisi demokrasi. Polri yang masih kerap represif terhadap demonstrasi, melakukan kriminalisasi aktivis, hingga mengedepankan operasi intelijen dalam penanganan massa, telah memperburuk citra demokrasi Indonesia. Laporan lembaga internasional menempatkan Indonesia dalam kategori flawed democracy menurut EIU dan obstructed democracy menurut Civicus. Jika tren ini berlanjut, ancaman militerisasi ruang sipil semakin menguat.
⸻
Ketua Umum HMI Badko Sumbagsel, Tommy Perdana, menilai agenda reformasi Polri bukan hanya kebutuhan demokrasi. Ia menekankan bahwa keberadaan Polri yang profesional dan akuntabel adalah syarat utama stabilitas hukum dan investasi. Di Lampung, berbagai konflik lahan, sengketa perkebunan, hingga penanganan kasus korupsi daerah masih menunjukkan kelemahan aparat. Kondisi ini berimbas pada turunnya kepercayaan publik dan iklim usaha.
PBHI Wilayah Lampung bersama Koalisi Masyarakat Sipil kemudian mengajukan lima desakan. Pertama, Presiden dan DPR segera merevisi UU Polri serta KUHAP melalui program legislasi nasional. Kedua, menghentikan praktik pembentukan tim ad hoc yang mudah dipolitisasi. Ketiga, menginstitusionalisasikan prinsip-prinsip HAM dalam pendidikan dan kultur Polri. Keempat, menjamin supremasi sipil dengan menolak pendekatan militer dalam keamanan dalam negeri. Kelima, menuntaskan kasus-kasus di Lampung yang mandek, mulai dari dugaan pungli, kriminalisasi petani, hingga aksi demonstrasi yang ditangani secara represif.
Desakan juga datang dari kalangan mahasiswa. Muzammil Arif Rahman, perwakilan Studi Demokrasi Mahasiswa, menegaskan agar pemerintah menghentikan politik pencitraan. Menurutnya, konflik horizontal antara mahasiswa dan aparat terlalu sering terjadi. Karena itu, ia meminta agar tujuan reformasi dikembalikan kepada mandat konstitusi. Polri harus diwujudkan sebagai lembaga profesional, akuntabel, serta berperspektif HAM.