Hari Tani Nasional, Petani Termarjinalkan di Tengah Pragmatisme Pembangunan

Wildanhanafi adalah Jurnalis Muda. Dok: Otentikindonesia.com.

Otentikindonesia.com – Hari Tani Nasional sejatinya bukan hanya seremoni tahunan. Ia adalah refleksi tentang bagaimana negara memperlakukan petani sebagai tulang punggung pangan bangsa.

Namun, di lapangan, realitas yang muncul justru ironis petani kian termarjinalkan, sementara tanah yang mestinya menjadi ruang hidup dan produksi pangan berubah fungsi demi kepentingan pragmatis.

Di Provinsi Lampung, masalah ini tampak jelas. Di Bandar Lampung, misalnya, daerah resapan air yang dulunya berupa sawah dan kebun produktif telah banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan.

Konsekuensinya, kota yang dulu relatif aman kini semakin rawan banjir setiap musim hujan.

Fenomena serupa terjadi di Pringsewu, Lampung Selatan, hingga Pesawaran. Lahan pertanian menyusut, digantikan kompleks perumahan, pabrik, bahkan tambang ilegal.

Di Pesawaran, aktivitas tambang liar bukan saja menghancurkan ekosistem, tetapi juga memperparah risiko banjir dan merusak ruang hidup petani kecil yang bergantung pada tanah.

Ironi terbesar dari semua ini adalah nasib petani itu sendiri. Mereka yang seharusnya dihormati justru hanya dijadikan alat politik dan bisnis oleh segelintir korporat.

Petani seringkali dimobilisasi untuk kepentingan proyek jangka pendek mulai dari perluasan perkebunan sawit hingga program pembangunan infrastruktur yang merampas lahan.

Ketika lahan menyempit, petani terpaksa menjual tanahnya. Namun setelah tanah berpindah tangan, mereka kehilangan identitas dan akses ekonomi. Dari pemilik tanah, mereka berubah menjadi buruh murah atau bahkan menganggur.

Pertanyaan besar pun muncul jika tren alih fungsi lahan terus berlanjut, siapa yang akan menanam padi, singkong, jagung, dan hortikultura yang menjadi tulang punggung pangan Lampung? Apa yang akan diwariskan untuk generasi berikutnya jika tanah hanya menjadi komoditas properti dan tambang?

Hari Tani seharusnya menjadi momentum menegaskan kembali bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ruang hidup.

Negara wajib hadir dengan kebijakan tegas menghentikan alih fungsi lahan yang merusak. Tanpa itu, petani akan terus menjadi korban marginalisasi.

Petani bukan sekadar simbol romantis perjuangan masa lalu. Mereka adalah penopang masa depan bangsa.

Mengabaikan nasib mereka sama dengan menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis pangan.

Hari Tani Nasional 24 September seharusnya menjadi pengingat keras, jangan biarkan tanah dirampas, jangan biarkan petani hilang di tanahnya sendiri.

Wallahualambisawab, Pertanian Satoe Pertanian Djaya.

Penulis Wildanhanafi adalah Jurnalis Muda. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup