Ketahanan Pangan, Tapi Lahan Tidak Aman

Wildanhanafi adalah Jurnalis Muda. Dok: Otentikindonesia.com.

Otentikindonesia.com – Kita sering mendengar dengan kata-kata “ketahanan pangan” berkumandang dari podium pejabat. Sebuah istilah megah yang seakan-akan menjanjikan kedaulatan bangsa.

Namun, di balik nyaringnya jargon itu, tanah kita justru kian gundul, sawah-sawah menyempit, dan petani hidup dalam kecemasan.

Di Lampung, misalnya, data Badan Pusat Statistik mencatat luas sawah yang terus menciut.

Empat tahun terakhir, lebih dari 12 ribu hektare lahan hilang.

Apa yang dulu hijau, hari ini berganti rumah-rumah beton.

Sawah yang semestinya menjadi nadi kehidupan, terhapus dalam rencana tata kota yang lebih tunduk pada pasar ketimbang masa depan pangan.

Tetapi lihatlah ironi itu, Lampung tetap tampil sebagai tanah subur dengan angka produksi yang menawan. Singkong 5,8 juta ton, hampir 40 persen dari total nasional.

Kopi robusta 141 ribu ton, dengan lahan 152 ribu hektare. Pisang 13,2 juta kuintal, jagung di enam besar nasional.

Angka-angka ini tampak seperti mahkota kebanggaan, tanda bahwa tanah ini masih setia memberi.

Namun, apa arti kelimpahan tanpa kemuliaan? Singkong hanya jadi tapioka murah, jagung sekadar pakan ternak, kopi robusta dijual seadanya, pisang kalah gengsi dari produk impor yang dibungkus cantik.

Di balik kelimpahan itu, petani tetap hidup pas-pasan. Tanah memberi begitu banyak, tapi nilai tambahnya justru dinikmati orang lain.

Petani kita berhenti di ujung cangkul. Mereka hanya sampai pada panen, sementara jalan menuju inovasi ditutup rapat oleh modal besar dan rantai distribusi panjang.

Padahal, kita telah melihat secercah kemungkinan keripik singkong Lampung menjelma oleh-oleh bergengsi, brownies mocaf dilirik sebagai pangan sehat, kopi robusta masuk kafe-kafe besar, pisang jadi dessert kekinian.

Semua itu membuktikan: pangan lokal bisa naik kelas jika diberi sentuhan modern.

Ketahanan pangan, sejatinya, bukan sekadar soal gudang beras penuh atau jagung menumpuk di pasar.

Ia adalah perkara menjaga tanah agar tetap subur, memberi ruang bagi petani agar tetap bermartabat, dan membuka jalan agar hasil bumi tidak berhenti di angka produksi.

Pangan baru berdaulat ketika ia mampu mengangkat harkat manusia yang menanamnya.

Karena itu, kita harus berani bertanya mau kita letakkan tanah di posisi apa? Apakah sekadar lahan kosong yang bisa dijual demi perumahan, atau sebagai penopang masa depan bangsa? Tanpa lahan, tidak ada produksi.

Tanpa produksi, tidak ada pangan. Dan tanpa pangan, kedaulatan hanya akan tinggal cerita yang kita ulang-ulang di podium, tanpa pernah benar-benar kita jaga di bumi.

Wallahualam Bisawab, Tabik Pun.

Penulis adalah Jurnalis Muda, Wildan Hanafi. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup