60 Tahun Unila, Jangan Kapitalisasi Dunia Pendidikan

Alumni Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Dok: Otentikindonesia.com.

Otentikindonesia.com – Enam puluh tahun adalah usia yang matang bagi sebuah universitas. Usia yang mestinya membuat Universitas Lampung (Unila) arif menimbang kembali jejak langkahnya. Ia lahir pada 1965, di tengah semangat membangun provinsi muda bernama Lampung.

Dari kampus kecil di Tanjungkarang, kini menjelma menjadi rumah ilmu yang megah, dengan ribuan mahasiswa dan alumni yang tersebar dari sawah hingga gedung-gedung tinggi.

Namun, ada pertanyaan yang tak bisa kita abaikan, ke mana arah perjalanan kampus rakyat ini? Apakah ia masih setia pada cita-cita awalnya menjadi mercusuar pengetahuan bagi anak petani, nelayan, dan buruh atau perlahan hanyut dalam arus kapitalisasi pendidikan yang kini kian deras?

Pendidikan, sejak dulu, adalah jalan emansipasi.

Ia adalah tangga yang memungkinkan anak dari lorong sempit kampung menatap langit lebih luas.

Tapi kini, tangga itu terasa semakin mahal.

Biaya kuliah yang menanjak, UKT yang mencekik, membuat banyak mahasiswa hanya mampu bertahan setengah jalan.

Ketika universitas dipaksa berbicara dengan bahasa pasar, maka ilmu pun berubah rupa menjadi barang dagangan.

Mahasiswa dipandang konsumen, program studi dianggap produk, dan keberhasilan diukur dari seberapa besar keuntungan yang didulang.

Di sinilah kita harus waspada, sebab begitu pendidikan kehilangan rohnya, ia hanya akan melahirkan sarjana tanpa jiwa.

Sejak awal Unila dibangun dari semangat kerakyatan. Jangan sampai kampus ini kehilangan ruh hanya karena mengejar peringkat dan keuntungan.

Lampung masih menyimpan kenyataan getir banyak keluarga yang berjuang menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.

Tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dan ketimpangan pendidikan antara desa dan kota menjadi beban tersendiri.

Unila, dengan segala pengaruhnya, seharusnya tampil sebagai benteng terakhir. Ia mesti membuka pintu selebar-lebarnya bagi anak-anak dari keluarga sederhana.

Kalau pendidikan tinggi makin mahal, maka pintu mobilitas sosial akan semakin sempit. Unila harus menjadi jawaban, bukan ikut menambah masalah.

Tugas Unila bukan sekadar mengejar akreditasi unggul atau meraih ranking internasional.

Lebih dari itu, ia mesti hadir sebagai kampus rakyat yang menjaga martabat ilmu pengetahuan ilmu yang berpihak, ilmu yang membebaskan, ilmu yang merawat kemanusiaan.

Usia 60 tahun adalah saatnya pulang ke khitah. Unila perlu mengingat kembali bahwa ia lahir dari rahim rakyat Lampung.

Maka, jangan biarkan perjalanan emas ini tercoreng oleh semangat komersialisasi.

Di sinilah kita menaruh harapan: agar para rektor, senat, dosen, dan alumni menegaskan kembali komitmennya.

Bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkan kampus bukan untuk kepentingan pasar semata, melainkan untuk kesejahteraan rakyat, untuk keberlanjutan bumi, dan untuk keadaban bangsa.

Unila, pada usia 60 tahun ini, mestinya tidak sekadar berdiri sebagai bangunan kokoh dengan gedung-gedung tinggi.

Ia harus menjadi rumah kebijaksanaan, tempat setiap anak muda Lampung tak peduli miskin atau kaya dapat bermimpi, belajar, dan tumbuh menjadi manusia yang merdeka.

Penulis Wildan Hanafi adalah alumni Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian  Universitas Lampung. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup