MBG, Apa Karna Gratis Jadi Keracunan Massal?

Wildanhanafi adalah Jurnalis Muda. Dok: Otentikindonesia.com.

Otentikindonesia.com – Wajah sumringah Kedua orangtu penerima manfaat makan gizi gratis (MBG) berganti dengan cemas dan rasa takut tak berkesudahan.

Sebab, anak mereka yang berharap makan siang dengan bergizi berganti dengan racun yang dikonsumsi.

Dengan sebutan Gratis kerap ramai dikalangan masyarakat Indonesia dengan masalah perekonomian yang lantang menyebut gratis dengan senyum sumringah.

Tetapi, jikalau yang digratiskan adalah makan bergizi. Kita duduk sejenak, merenungkan dengan jutaan anak sekolah bisa menyantap sarapan sehat, tidak harus banyak uang jajan yang menipis.

Ini adalah niat baik dari Presiden Prabowo Subianto untuk menekan angka stunting dengan Program Makan Gizj Gratis digalakan kesegala penjuru Republik Indonesia.

Harapan itu sirna seketika, manis itu berubah rasa takut. Berbagai daerah melaporkan kasus keracunan massal di kalangan siswa penerima manfaat.

Berharap ketika pulang dengan perut kenyang dan otak segar, anak-anak bahkan harus masuk ruang IGD dengan wajah pucat dan badan pun lemas. Gratis yang seharusnyaberkah, berujung jadi musibah.

Menurut catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga akhir September 2025 sudah terjadi sekitar 6.452 kasus keracunan akibat menu MBG.

Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan peringatan keras karena ada yang salah dengan tata kelola dapur, apakah kekurangan Ahli Gizi, atau kelalaian? Tetapi keracunan sering terjadi, Naas.

Pendengaran masyarakat Indonesia, “gratis” memiliki memoriam yang buruk. Layanan masyarakat dengan kata gratis seringkali diidentikkan barang rongsokan.

Obat-obatan gratis di puskesmas dianggap kurang mujarab dibanding obat di apotek. Kendati jalan umum gratis sering lebih banyak lubangnya dibandingkan dengan jalan tol berbayar.

Hari ini , jangan-jangan makanan gratis pun ikut terjebak stigma yang sama murahan, seadanya, dan asal jadi, membuat laporan ke atasan.

Padahal MBG tidak betul-betul gratis. Bagi rakyat memang tanpa bayar, tapi negara menggelontorkan triliunan rupiah dari APBN untuk membiayai dapur-dapur sekolah, pengadaan bahan pangan, hingga distribusinya.

Gratis bagi rakyat, tapi sangat mahal bagi negara. Kalau hasilnya keracunan, itu sama saja menghamburkan uang rakyat sekaligus membahayakan masa depan bangsa.

Masalah MBG bukan semata pada nasi, sayur, atau lauk yang disajikan. Inti persoalan ada pada tata kelola. Dari hulu hingga hilir, celah masalah menganga lebar.

Pertama, pengadaan bahan pangan. Tak sedikit dapur penyedia yang memilih bahan murah demi mengejar margin.

Sayuran layu, daging tak segar, atau bahkan makanan sisa pasar bisa saja masuk dalam rantai distribusi. Bukannya bergizi, yang tersaji justru bom waktu bagi kesehatan anak-anak.

Kedua, standar kebersihan. Banyak dapur sekolah hanya sekadar ruang seadanya dengan peralatan masak terbatas.

Kebersihan bukan prioritas, melainkan formalitas. Ada yang mencuci bahan makanan dengan air keruh, ada pula yang menyimpan bahan di dekat sampah. Kalau dapurnya saja tak layak, bagaimana mungkin hasil masakannya bisa aman?

Ketiga, pengawasan. Di atas kertas, program ini diawasi ketat. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Pengawasan lebih sering berhenti pada tumpukan laporan administrasi ketimbang inspeksi mendadak. Semua terlihat baik di dokumen, tapi di dapur, situasinya bisa berantakan.

MBG digagas untuk menjawab masalah serius bangsa stunting, gizi buruk, dan kesenjangan asupan makanan. Program ini sejatinya adalah wujud negara hadir di meja makan anak-anak sekolah.

Tapi ironinya, kehadiran negara justru menghadirkan ketakutan baru trauma makan di sekolah karena takut keracunan.

Jika dibiarkan, program ini bisa berubah makna. Dari Makan Bergizi Gratis menjadi Makan Beracun Gratis.

Dari simbol kepedulian negara, berubah jadi bahan olok-olok publik. Dari niat mulia menyehatkan generasi, malah jadi catatan kelam kegagalan tata kelola.

Presiden Prabowo tentu tidak ingin warisan program andalannya runtuh hanya karena urusan dapur. Tapi inilah ujian serius bisakah pemerintah membuktikan bahwa layanan publik gratis tetap bisa bermutu tinggi?

Ada tiga langkah yang mendesak. Pertama, transparansi pengadaan barang, publik berhak tahu dari mana bahan pangan didatangkan, siapa penyuplai hingga berapa harganya.

Kedua, standar kebersihan harus dilakukan sesuai standar kesehatan, setiap dapur penyedia MBG harus bersertifikasi laik hygiene, bukan sekadar dapur seadanya. Ketiga, pengawasan independen.

Tak cukup hanya pemerintah. Harus ada ruang bagi masyarakat sipil, media, dan lembaga independen untuk mengaudit berjalannya program.

Kita semua sepakat anak bangsa berhak mendapat makanan sehat, bergizi, dan aman. Gratis bukan berarti murahan.

Gratis bukan sekadar jadi bukti negara bisa memberi yang terbaik tanpa memungut biaya. Kalau gratis diartikan seadanya, maka program ini gagal sejak dari pikiran dan perbuatan.

MBG adalah soal perut anak bangsa, bukan sekadar pencitraan politik. Jika dibiarkan jadi langanan korupsi yang kecil di dapur sekolah, maka yang kita racuni bukan hanya tubuh anak-anak, tapi juga masa depan bangsa.

Negara harus menjawab pertanyaan yang cemas apakah karena gratis, maka wajar saja anak-anak keracunan massal? Jawabannya jelas tidak.

Gratis bukan alasan untuk lalai. Gratis adalah amanat yang justru harus dijaga lebih ketat dan komprehensif.

Wallahualam Bisawab, Tabik Pun.

Penulis Wildanhanafi adalah Jurnalis Junior. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup