Banjir dan Longsor di Sumatra Menjadi Alarm Serius; Ketua HMI Koorkom UIN Raden Fatah Serukan Kepedulian Ekologis
otentikindonesia.com, Sumatra – Data pemantauan lingkungan menunjukkan Sumatra menghadapi situasi genting dengan meningkatnya risiko banjir dan longsor. Dalam lima tahun terakhir, laju deforestasi di Sumatera Utara telah mengikis kemampuan tanah menyerap air. Kondisi ini membuat air hujan mengalir deras menuju permukiman tanpa penghalang alami yang memadai.
Sementara itu, Sumatera Barat menghadapi tekanan ekologis akibat alih fungsi lahan yang terus berlangsung. Daerah perbukitan yang sebelumnya dianggap stabil kini masuk kategori rawan longsor. Alih fungsi lahan memicu hilangnya vegetasi pelindung sehingga tanah mudah bergerak ketika diguyur hujan.
Di Aceh, sedimentasi sungai semakin mempersempit aliran air dan meningkatkan risiko banjir bandang. Penurunan tutupan hutan memperburuk keadaan karena sungai kehilangan kemampuan menampung lonjakan debit air. Dua faktor ini membuat wilayah rawan banjir bertambah luas dari tahun ke tahun.
Ketiga provinsi tersebut kemudian bertemu dengan fenomena hujan ekstrem yang terjadi beberapa hari terakhir. Di Sumatera Utara, luapan sungai merendam rumah warga dan melumpuhkan mobilitas antarwilayah. Dua hari hujan deras cukup untuk menutup akses jalan dan merusak berbagai fasilitas umum.
Di Sumatera Barat, longsor menutup jalur vital yang menjadi penghubung daerah dan memaksa warga menghentikan aktivitas. Rumah-rumah warga rusak akibat material tanah dan batuan yang meluncur dari perbukitan. Dua lokasi utama dilaporkan mengalami kerusakan terparah dengan kondisi tanah yang masih labil.
Aceh pun diterjang banjir bandang yang menyebabkan ratusan warga mengungsi ke tempat aman. Infrastruktur dasar seperti jembatan dan drainase ikut terdampak dan membutuhkan perbaikan cepat. Dua kecamatan menjadi zona yang paling terpukul karena intensitas hujan yang sangat tinggi.
BPBD dari ketiga daerah melaporkan kerusakan fasilitas publik yang membutuhkan penanganan darurat. Perekonomian masyarakat terganggu karena aktivitas perdagangan dan pertanian lumpuh dalam beberapa hari. Dua sektor penting tersebut sering kali menjadi yang paling cepat terdampak saat bencana terjadi.
Para pengamat lingkungan menilai bahwa kerusakan ekologis menjadi pemicu utama buruknya dampak bencana. Cuaca ekstrem memang menjadi pemantik, tetapi degradasi lingkungan yang telah lama terjadi memperbesar risiko. Dua fenomena ini menjadi kombinasi yang mempercepat terjadinya banjir dan longsor.
Menanggapi situasi ini, Rohman, Ketua Umum HMI Koorkom UIN Raden Fatah Palembang, menyampaikan keprihatinannya. Ia menegaskan bahwa banjir dan longsor di Sumatra harus menjadi alarm serius bagi semua pihak. Dua bencana tersebut menurutnya menunjukkan melemahnya daya dukung lingkungan kita.
Rohman mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ekologis. Perubahan perilaku sehari-hari dianggap menjadi langkah awal yang penting untuk memulihkan alam. Dua tindakan sederhana seperti menjaga kebersihan sungai dan mendukung penghijauan menjadi sangat krusial.
Ia juga menyoroti pentingnya penolakan terhadap pembukaan lahan tanpa kajian lingkungan yang memadai. Praktik ini sering kali menjadi pemicu kerusakan ekologis yang berujung pada bencana. Dua bentuk kegiatan tersebut menurut Rohman harus diawasi lebih ketat oleh pemerintah daerah.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas dalam mengendalikan aktivitas yang merusak lingkungan. Pengawasan terhadap izin usaha yang berpotensi mengganggu ekosistem harus dilakukan dengan lebih cermat. Dua kebijakan tersebut sangat penting untuk menjaga keselamatan ekologis jangka panjang.
Untuk langkah ke depan, Rohman mengajukan tiga rekomendasi strategis bagi pemerintah dan masyarakat. Audit lingkungan menyeluruh perlu dilakukan pada wilayah rawan banjir dan longsor demi menilai ulang kondisi lapangan. Dua provinsi yang paling terdampak diminta menjadi prioritas dalam audit tersebut.
Ia juga menegaskan pentingnya pelibatan masyarakat dalam program rehabilitasi lingkungan yang berkelanjutan. Rehabilitasi DAS dan penghijauan kawasan rawan longsor harus dilakukan secara terpadu. Dua program ini diyakini dapat mengurangi risiko bencana secara signifikan.
Rekomendasi terakhir menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, organisasi mahasiswa, lembaga penelitian, dan komunitas lokal. Kesadaran ekologis nasional tidak boleh bersifat musiman dan hanya muncul saat bencana terjadi. Dua pendekatan jangka panjang ini menjadi fondasi penting dalam memperkuat ketahanan lingkungan.
“Alarm ini jangan diabaikan,” tegas Rohman di akhir pernyataannya. Ia menambahkan bahwa hubungan manusia dengan alam harus dibenahi agar bencana tidak terus menjadi langganan tahunan. Dua pesan penting tersebut menjadi penutup seruannya kepada seluruh masyarakat.



