Transisi Energi Indonesia di Tengah Geopolitik Global: Membangun Kedaulatan Ekonomi Melalui Entrepreneur Kader HMI

Naufal Alman Widodo (Kader HmI Badko Sumbagsel). Dok: Istimewa

Konflik Rusia-Ukraina yang dimulai pada 2022 bukan sekadar benturan politik dan militer dua negara, melainkan eskalasi geopolitik global yang menyentuh berbagai sektor strategis, termasuk keamanan energi dan ketahanan ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan kajian Muhammad Rizal Ibrahim (2024) dalam jurnal Arus Sosial dan Humaniora, perang ini telah menimbulkan dampak langsung terhadap pasar energi global dan memaksa negara-negara bergantung, termasuk Indonesia, melakukan berbagai penyesuaian kebijakan untuk menjaga stabilitas energi nasional.

Konflik ini meledak akibat keberpihakan Ukraina ke blok Barat dan NATO, serta upaya Rusia mempertahankan pengaruhnya di kawasan Eropa Timur. Invasi ini memicu disrupsi besar-besaran dalam pasar energi global, khususnya pasokan minyak, gas, dan batu bara. Rusia, yang tercatat sebagai produsen energi terbesar ketiga dunia setelah AS dan Arab Saudi, memainkan peran vital dalam memenuhi kebutuhan energi negara-negara Uni Eropa dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa Indonesia memiliki hubungan bilateral cukup panjang dengan Rusia, khususnya di sektor energi fosil. Sejak pembentukan working group energi Indonesia-Rusia tahun 2014, kerjasama strategis terus berlangsung, mulai dari minyak, gas, petrokimia hingga wacana pemanfaatan teknologi nuklir. Bahkan hingga saat ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas seperti pupuk, batu bara, dan besi baja masih menjadi produk utama ekspor-impor antar kedua negara.

Dampak negatif invasi Rusia-Ukraina terhadap ketahanan energi Indonesia sangat signifikan. Harga minyak dunia sempat menyentuh USD 105 per barel, memicu lonjakan harga BBM domestik. Selain itu, nilai tukar rupiah melemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terguncang, serta arus ekspor-impor terganggu akibat sanksi ekonomi terhadap Rusia. Ketergantungan energi Indonesia terhadap batu bara dan migas impor menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas energi nasional, terutama ketika harga energi global volatil akibat konflik geopolitik.

Selain itu, ketergantungan energi berbasis fosil secara langsung memengaruhi sektor pangan nasional. Harga bahan bakar yang tinggi menyebabkan biaya logistik meningkat, distribusi bahan pokok terganggu, dan berpotensi mengancam ketahanan pangan jika tidak diantisipasi. Inilah yang disebut Muhammad Rizal Ibrahim sebagai “red alert” dalam dimensi keamanan energi Indonesia.

Namun di balik dampak negatif tersebut, terdapat peluang positif. Krisis ini memaksa Indonesia untuk mempercepat transisi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT). Dalam forum G20 2022, pemerintah menetapkan target bauran energi EBT sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Proyek seperti Green Industrial Park di Kalimantan Utara dan pengembangan panas bumi berkapasitas 23,4 GW diproyeksikan menjadi tulang punggung energi bersih nasional ke depan.

Sayangnya, implementasi kebijakan ini masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Kementerian ESDM 2023, realisasi bauran EBT Indonesia baru mencapai 12,2%, jauh di bawah target 14,5%. Hal ini menunjukkan bahwa akselerasi transisi energi bukan perkara mudah di tengah ketergantungan struktural terhadap energi.

Dalam konteks geopolitik global, energi menjadi alat diplomasi dan hegemoni. Rusia menggunakan ekspor energi ke Eropa dan Asia sebagai instrumen pengaruh politik, sementara negara-negara Barat berupaya mengurangi ketergantungan mereka dengan diversifikasi energi. Di sinilah Indonesia perlu memainkan strategi geopolitik cerdas.

Konflik ini membuka peluang kerjasama energi baru dengan negara-negara nontradisional, khususnya di sektor EBT dan teknologi rendah karbon. Negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, hingga negara-negara Skandinavia bisa menjadi mitra strategis pengembangan energi hijau Indonesia. Hal ini sejalan dengan tren global yang mengarah pada ekonomi hijau dan dekarbonisasi industri energi.

Selain itu, diversifikasi mitra dagang menjadi langkah penting. Saat ketergantungan Indonesia terhadap Rusia di sektor energi terlalu tinggi, risiko geopolitik meningkat. Kerjasama energi dengan berbagai negara perlu ditata ulang berbasis asas kepentingan nasional, bukan sekadar kalkulasi ekonomi jangka pendek.

Di sisi lain, krisis ini menyadarkan pentingnya kemandirian ekonomi di level akar rumput. Bukan hanya negara yang harus mandiri, tetapi juga masyarakat dan kelompok strategis seperti organisasi kemahasiswaan. HMI, sebagai organisasi kaderisasi umat dan bangsa, mesti membaca realitas ini dengan membangun arus utama kaderisasi kewirausahaan. Entrepreneurship kader menjadi solusi strategis untuk menciptakan kemandirian ekonomi individu dan kolektif, sehingga tidak tergantung pada fluktuasi ekonomi global.

Entrepreneurship bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan alat perjuangan sosial dan politik. Dalam situasi geopolitik yang penuh ketidakpastian, kader-kader HMI yang mandiri secara ekonomi akan mampu bersikap kritis, independen, dan visioner dalam menyikapi isu kebangsaan, termasuk soal energi dan geopolitik.

Konflik Rusia-Ukraina menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengevaluasi ulang ketergantungan energinya dan memulai lompatan besar menuju transisi energi berkelanjutan. Bagi HMI, ini adalah panggilan zaman untuk turut andil membangun kemandirian ekonomi kader, tidak hanya di ranah politik, tapi juga ekonomi berbasis kewirausahaan kader yang adaptif terhadap dinamika geopolitik global.

Karena energi bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi instrumen geopolitik yang menentukan kedaulatan dan kesejahteraan bangsa.

Oleh : Naufal Alman Widodo (Kader HmI Badko Sumbagsel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup