Kematian Mahasiswa yang Dibungkam: Ada Apa dengan Unila?

Edo Fadely, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dok: Otentikindonesia.com

Otentikindonesia.com – Universitas Lampung (Unila), sebagai salah satu kampus kebanggaan Provinsi Lampung, kini berada di bawah sorotan tajam publik.

Bukan karena prestasi akademik atau inovasi riset, melainkan karena rentetan kabar duka dari para mahasiswanya yang tak hanya menyedihkan, tapi juga memunculkan pertanyaan serius soal tanggung jawab moral dan etika institusi pendidikan.

Kasus kematian Pratama, seorang mahasiswa yang diduga menjadi korban kekerasan dalam kegiatan latihan dasar (diksar) organisasi, menjadi pemantik.

Pratama tak hanya kehilangan nyawa ia meninggal dalam proses pendidikan yang semestinya menjadi ruang aman untuk tumbuh.

Fakta yang terungkap menyebutkan adanya kelalaian individu, kolektif, hingga struktural dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

Namun ironis, laporan investigasi internal kampus tak mengarah pada sanksi nyata terhadap pihak fakultas yang memiliki tanggung jawab langsung.

Lebih dari itu, muncul pula pengakuan intimidasi terhadap mahasiswa dan saksi, hingga pembungkaman oleh pihak fakultas.

Upaya untuk melindungi institusi justru dilakukan dengan cara menekan suara-suara yang kritis.

Luka belum kering, kabar duka lain datang. Seorang mahasiswi bernama Siska ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya, usai mengalami pendarahan hebat setelah melahirkan.

Tragedi kemanusiaan ini pun kembali dibungkam. Alih-alih membuka ruang empati, pihak kampus justru diduga kembali meminta mahasiswa untuk tidak membicarakan kasus tersebut.

Diam demi Akreditasi?

Sikap membungkam mahasiswa dan publik atas tragedi ini menciptakan satu pertanyaan besar: apakah kampus lebih mementingkan akreditasi dan citra dibanding keselamatan dan kemanusiaan?

Dalam berbagai kesempatan, pihak birokrasi kampus disebut lebih sibuk meredam informasi ketimbang membuka ruang dialog dan evaluasi.

Ini menunjukkan bahwa kultur keheningan di Unila bukan sekadar praktik komunikasi tertutup, melainkan sudah menjelma menjadi budaya kekuasaan yang menolak transparansi, menekan kritik, dan menyangkal tanggung jawab.

“Jika rasa keadilan harus dikorbankan demi nilai akademik, lalu apa bedanya kampus hari ini dengan zaman purba yang mengorbankan nyawa untuk sesajen?” tulis seorang mahasiswa dalam selebaran solidaritas.

Mahasiswa Hukum Angkat Suara

Salah satu suara kritis datang dari Edo Fadely, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Ia menyayangkan lemahnya keberpihakan kampus terhadap korban.

“Unila mestinya menjadi pelindung, bukan pelupa. Tragedi ini seharusnya menjadi momen koreksi total, bukan ajang pencitraan. Jika kampus terus mengedepankan ego kelembagaan dan menutup-nutupi kasus, maka nilai-nilai akademik yang kita banggakan itu hanya tinggal slogan kosong,” ujar Edo, pada Minggu, (22/6/2025).

Edo juga menambahkan bahwa diamnya pihak kampus atas dua peristiwa kematian mahasiswa adalah bentuk kelalaian moral.

“Di Fakultas Hukum kami belajar bahwa keadilan bukan hanya soal pengadilan, tapi soal keberpihakan pada korban. Jika kematian tak membuat kampus introspeksi, berarti ada yang benar-benar salah di dalam sistem kita,” tegasnya.

Kematian Bukan Sekadar Statistik

Kematian mahasiswa bukan sekadar statistik atau aib yang harus ditutup.

Setiap nyawa yang hilang di lingkungan kampus adalah alarm keras yang menandakan ada sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Unila, sebagai institusi pendidikan tinggi, seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir kritis dan bertumbuh.

Tragedi demi tragedi harus menjadi refleksi, bukan justru dibungkam demi nama baik.

Yang lebih penting dari menjaga reputasi adalah keberanian untuk mengakui kesalahan, bertanggung jawab, dan membenahi sistem.

Kampus Beradab Adalah Kampus yang Mau Berkaca

Reformasi internal mutlak dilakukan. Budaya akademik yang sehat dibangun bukan dari kedisiplinan semu, melainkan dari keberanian untuk mendengarkan suara lemah suara korban, suara mahasiswa biasa, suara mereka yang sering diabaikan.

Unila memang pantas bermimpi menjadi kampus unggul, jaya, dan berkelas dunia.

Tapi keunggulan sejati hanya akan lahir jika kampus berani berbenah dari dalam dengan menjadikan luka dan kematian sebagai titik balik, bukan sebagai dosa yang terus disapu ke bawah karpet.

Karena sejatinya, kampus yang baik bukan yang tak pernah salah, melainkan yang berani mengakui salah dan belajar darinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup